Rabu, 18 Mei 2011

KONSERVASI LINGKUNGAN : KONSEP ISLAM & PERAN SERTA UMATNYA

Islam adalah agama yang berorientasi universal. Kehadirannya, melalui Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah, menjadi rahmat bagi alam (QS: Al-Anbiya' 107). Melalui tata syari'atnya, yang secara baku telah dirumuskan oleh para sarjana hukum Islam (fuqoha') abad pertengahan, Islam terbukti mampu merespon problematika di hampir segala aspek kehidupan, tidak terkecuali masalah kelestarian lingkungan. Jauh sebelum marak terjadi kerusakan dan perusakan lingkungan, Al-Qur'an telah memprediksikan terjadinya hal tersebut (QS. Ar-Ruum : 41).
Dalam ayat lain (QS: Al-Baqarah 205) Allah menyindir ulah sebagian kaum munafik pada masa Rasulullah yang bertindak eksploitatif sehingga mengacaukan keseimbangan ekosistem alam. Mengomentari ayat ini, Mujahid, seorang ulama' tafsir terkemuka mengatakan: "Ia menguasai bumi, bertindak eksploitatif dan sewenang-wenang, sehingga Allah enggan menurunkan hujan, dan akhirnya tetumbuhan dan binatang ternak (termasuk juga manusia) mengalami kebinasaan".
Karena perilaku dasar manusia yang cenderung melampaui batas inilah, Allah memberikan rambu-rambu dan petunjuk. Dan, sebagai konsekwensi ketundukan manusia pada Tuhannya, adalah hal yang sepatutnya jika manusia juga tunduk pada segala aturanNya. Tata aturan syari'at, secara makro maupun mikro berorientasi pada kemaslahatan, tentunya kemaslahatan sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah swt. Untuk meminimalisir dan melokalisir dampak lebih lanjut, syari'at Islam merekomendasikan sejumlah konsep tentang konservasi alam yang tersebar dalam berbagai referensi klasik abad pertengahan dalam beragam konteks pembahasan.
Tentang paket upaya kelestarian hutan misalnya, fiqh Islam mengajukan sejumlah konsep, di antaranya tentang usaha penghijauan. Rasulullah memberikan anjuran, bahwa barangsiapa menanam pohon atau tanaman, maka baginya akan menjadi shodaqoh kelak di hari kiamat:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إلاَّ كَانَ مَا أَكَلَ مِنْهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ مِنْهُ السَّبُعُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ (رواه مسلم عن جابر رضي الله عنهما)
Artinya: Tidaklah seorang muslim menanam pepohonan, melainkan apa yang dimakan darinya adalah shodaqoh, apa yang dicuri darinya adalah shodaqoh, apa yang dimakan binatang buas darinya adalah shodaqoh, dan apa yang dimakan burung adalah shodaqoh. (HR. Muslim dari Jabir ra.)
Dengan program reboisasi, selain pemanfaatan buahnya untuk dikonsumsi, akar-akar pepohonan di hutan menjadi tumpuan sekaligus penahan resapan air dalam tanah, sehingga tidak mudah terjadi tanah longsor dan banjir. Rerimbunan hutan juga bisa menjadi habitat bagi sejumlah spesies hewan, termasuk spesies hewan yang dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Labih jauh lagi, hutan sebagai paru-paru dunia, berfungsi menetralisir polusi udara akibat perkembangan teknologi dan industri. Sejumlah manfaat yang bermula dari usaha penghijauan inilah yang disinyalir Rasul sebagai bentuk investasi shodaqoh bagi penanam yang akan mengalirkan pahala hingga kelak di hari kiamat.
Perilaku penebangan hutan secara serampangan, sangatlah dikecam oleh Islam. Hal ini karena ekses negatif yang ditimbulkannya, mulai dari kegundulan hutan yang akan mengakibatkan berkurangnya debit air tanah, rawan bencana tanah longsor dan banjir, hingga punahnya sejumlah spesies hewan tertentu akibat kehilangan habitat asalnya. Karena inilah, Al-Dlahhâk, dalam mengomentari QS: Al-A'raf 56, menegaskan bahwa makna ayat tersebut adalah : "Janganlah kalian menyumbat air dan menebang pohon berbuah dengan maksud destruktif.".
Dalam kaitannya dengan upaya pelestarian hutan, fiqh Islam juga sangat menganjurkan pelestarian sumber daya alam hewani. Ini karena hutan adalah habitat dari sejumlah besar spesies hewan. Upaya penangkaran dan perlindungan terhadap sejumlah spesies hewan, mendapatkan justifikasi dari sejumlah hadits Rasulullah saw. Seperti hadits tentang pelarangan pembunuhan hewan selain untuk kepentingan konsumsi. Begitu pula hadits tentang perlindungan hewan dari segala bentuk penyiksaan, juga dapat dijadikan acuan hukum untuk mempropagandakan upaya penangkaran. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ مَثَّلَ بِذِي رُوحٍ ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مَثَّلَ اللَّهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه أحمد)
Artinya: Barangsiapa menyiksa makhluk bernyawa, kemudian tidak bertaubat, maka Allah akan menyiksanya kelak di hari kiamat. (HR. Ahmad)
Kemudian mengenai upaya pelestarian sumber daya alam non-hayati, fiqh Islam juga memberikan sumbangsih yang tak kalah besarnya. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah misalnya, Rasulullah bersabda :
النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلأِ وَالنَّارِ (رواه ابن ماجه)
Artinya: Manusia bersekutu dalam (pemanfaatan) tiga hal, air, rerumputan dan api. (HR. Ibnu Majah)
Air sebagai komponen penting dalam kehidupan, menjadi kebutuhan primer semua manusia, bahkan makhluk hidup lainnya. Kebutuhan air bersih untuk minum maupun kebutuhan lainnya mengharuskan terjaminnya kualitas air. Agar tidak timbul benturan antara satu dengan lainnya, serta demi kelestarian sumber air itu sendiri, tentunya dalam pemanfaatan sumber air ini, dibutuhkan aturan main yang tegas. Pada dasarnya Islam tidak membatasi pemanfaatan (eksploitasi) air selama tidak menimbulkan ekses negatif (dlarar). Karenanya segala bentuk dlarar harus dihindari. Hal ini sesuai dengan kaidah dasar yang diambil dari pesan Rasulullah saw.:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه أحمد وابن ماجه)
Artinya: Tidak boleh ada perbuatan destruktif dalam agama, terhadap diri sendiri dan orang lain. (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Dalam kerangka inilah, upaya pemeliharaan kualitas air tanah, melindungi air sungai dari limbah, dan sebagainya, adalah upaya yang dibenarkan oleh syara'.
Konservasi alam berorientasi ilmu pengetahuan
Melalui prinsip-prinsip pengaturan sumber daya alam hayati maupun non-hayati, hewani maupun nabati, dapat dilakukan aplikasi lanjutan dalam berbagai program pemanfaatan lingkungan, seperti halnya pembuatan cagar alam, hutan lindung, maupun pencanangan suaka marga satwa.
Keanekaragaman jenis satwa dan tanaman juga merupakan investasi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Keanekaragaman nabati misalnya, merupakan kekayaan tak ternilai bagi kehidupan masa kini dan yang akan datang. Karena masih banyak jenis tanaman yang belum diketahui secara khusus manfaat yang terkandung dan menjadi penting untuk diteliti sebagai bahan obat, sumber pangan, papan dan lain sebagainya. Islam sendiri, menganjurkan umatnya untuk senantiasa berfikir mengenai ayat-ayat Allah yang terdapat di alam demi untuk mempertebal keyakinan dan keimanan kepada Allah swt. Dalam Al-Qur'an surat Ar-Rahman ayat 33 Allah berfirman :
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَوَاتِ وَاْلأََرْضِ فَانْفُذُوا لاَ تَنْفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ (الرحمن 33)
Artinya: Wahai golongan jin dan manusia, jika kalian sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kalian tidak dapat melintasinya melainkan dengan kekuatan. (QS: Ar-Rahman 33)
Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip Al-Qurthubi dalam tafsirnya, berkomentar: "jika kalian sanggup mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, maka ketahuilah, kalian tidak dapat mengetahuinya melainkan dengan kekuatan, maksudnya dengan bayyinah (penjelasan) dari Allah"
Perspektif syari'at tentang peran pemerintah dalam upaya konservasi alam
Dari sekian poin konsep Islam tentang konservasi alam sebagaimana yang telah dipaparkan, kiranya peran pemerintah sangatlah dominan. Tanpa peran aktif pemerintah, sebagus apapun konsepnya, tidak akan optimal. Dalam perspektif syari'at, selain harus tetap berjalan di atas garis yang telah ditetapkan, segala kebijakan pemerintah juga harus berpedoman pada kemaslahatan. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
تصرف الإمام منوط بالمصلحة
Kebijakan imam (pemerintah) harus berdasarkan kemaslahatan
Berdasarkan kaidah ini pulalah, sejumlah konsep fiqh lingkungan berpijak. Meski tidak secara spesifik mengarah pada kepentingan pemeliharaan alam dan lingkungan, di sini dapat dicontohkan kebijakan pemerintah untuk mengupayakan perlindungan alam melalui proses iqthâ', hima dan sebagainya, sebagaimana juga pernah diterapkan oleh Rasulullah dan para Khalifah sesudah beliau.
Konsep konservasi alam yang telah di paparkan di atas adalah sebagian dari tatanan dan aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Kesadaran akan lingkungan alam merupakan tugas setiap komponen masyarakat. Sebab itu berarti pelaksanaan syari'at.
Sebagaimana hukum hukum Allah yang lain, penyadaran tentang pentingnya konservasi alam bukanlah semata mata tugas pemerintah. Peran serta ulama dalam mempublikasikan dan mensosialisasikan konservasi alam menjadi sangat penting demi tercapainya tujuan di maksud. Intensitas ulama dalam menda'wahkan hal ini adalah sebagian implementasi dari anjuran "amar ma'ruf nahi munkar."
Walhasil, syari'at Islam yang tercover dalam bingkai fiqh produk abad pertengahan, memiliki sejumlah konsep yang – kendati tidak secara utuh – berorientasi pada kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem, karena hal tersebut pada akhirnya bermuara demi kemaslahatan umat manusia. Wallâhu a'lam bi al-shawâb. 

-------------------------------------------------------
[1] Tokoh pelaku yang disindir dalam ayat ini, menurut Qatadah, Mujahid, dan Rabi', adalah kaum munafik dan kaum muslimin secara umum. Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz I hlm. 246.
[2] Allah berfirman:
وَلاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (الأعراف 56)
Artinya: Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS: Al-A'raf 56)
[3] Tafsir Al-Qurthubi, juz VII hlm 226.
[4] Al-Mughni Syarh al-Kabir juz. IX hal. 232 dan Ahkam al-Qur'an Ibn Araby juz.II hal.26
[5] Tafsir Al-Qurthubi juz XVII hlm. 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar