Rabu, 18 Mei 2011

PRANATA NIKAH, ANTARA TINJAUAN ILMIAH DAN AMALIAH

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ أَحْرَزَ شَطْرَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي (الحديث)
Barang siapa menikah, maka dia telah memelihara separuh agamanya, maka hendaklah dia bertakwa untuk kesempurnaan separuh berikutnya. (al-hadits)
ثَلاَثَةٌ حَقّ َعَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ النَّاكِحُ يُرِيْدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالْغَازِي فِي سَبِيْلِ اللهِ (الحديث)
Tiga orang yang akan diberikan pertolongan oleh Allah, orang yang menikah dengan tujuan menjaga agamanya, sahaya mukatab yang berkeinginan melunasi cicilannya, dan orang yang berperang di jalan Allah. (al-hadits)


Prolog
Nikah, adalah sebuah pranata aturan yang telah melembaga sejak dahulu kala, setua peradaban manusia. Islam hadir untuk mengukuhkan kelembagaan ini dengan sejumlah sentuhan penyempurnaan. Nikah disyari'atkan dalam rangka hifzh al-nasl (pemeliharaan keturunan), yang merupakan satu di antara lima prinsip dasar universal (maqashid al-syari'ah). Hikmah dari pensyari'atan nikah di antaranya adalah :
1. Untuk kelestarian dan kesemarakan bumi dengan aktivitas-aktivitas yang berorientasi ibadah. Karena Allah menciptakan alam semesta untuk manusia, kemudian mempercayakan pengelolaannya pada mereka. Dengan nikah, akan menurunkan keturunan, sehingga akan ada kelestarian generasi, yang pada akhirnya akan berimbas pada kelestarian pengelolaan alam. Apalagi jika bumi dipenuhi oleh keturunan orang-orang beriman yang menyemarakkan bumi dengan kegiatan-kegiatan berorientasi ibadah.
2. Sarana mendapatkan pendamping hidup dalam mengarungi suka duka kehidupan. Allah berfirman :
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا (الأعراف 21)
Dan Allah menjadikan darinya istri, supaya dia merasa tenteram bersamanya. (QS. Al-A'raf : 21)
3. Sarana penyalur hasrat biologis (seksual) secara sehat, aman dan berpahala.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ (الحديث)
Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan materi, maka menikahlah, karena hal itu akan lebih menjaga pandangan, dan lebih memelihara kemaluan (al-hadits)
4. Memelihara kejelasan nasab (garis keturunan)
5. Memperbanyak umat.
تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (الحديث)
Saling menikahlah kalian, saling berketurunanlah kalian, karena aku akan membanggakan jumlah kalian di hadapan umat-umat lainnya pada hari kiamat. (al-hadits)
6. Penyambung pahala amal shaleh hingga setelah mati. Karena anak sholeh merupakan satu di antara tiga amal jariyah yang akan mengalir terus pahalanya meski seseorang telah meninggal dunia.

Pada dasarnya, hukum nikah adalah mubah. Secara umum, nikah dianjurkan. Ini jika seseorang telah merasakan perlunya pemenuhan kebutuhan seksual (al-ta'iq), atau ada tujuan baik lainnya, dan didukung kemampuan pembiayaan nikah. Secara terperinci, hukumnya adalah sebagai berikut:
Bagi laki-laki:
 Sunah, bagi orang yang sudah mempunyai hasrat nikah, dan mampu menanggung biaya pernikahan, seperti halnya maskawin dan nafkah.
 Khilaf al-aula (menyalahi keutamaan, mendekati makruh), bagi orang yang mempunya hasrat nikah, tetapi tidak mempunyai biaya.
 Makruh, bagi orang yang tidak mempunyai hasrat nikah, dan tidak mempunyai biaya, atau mempunyai biaya namun dirinya sudah pikun, atau mengalami penyakit, seperti impoten.
 Wajib, bagi orang mempunyai biaya serta khawatir akan melakukan zina. Atau orang yang mempunyai hasrat nikah, serta mampu menanggung biaya pernikahan dan mempunyai nadzar akan melakukan nikah.
 Haram, bagi orang yang tidak bisa melaksanakan kewajiban sebagai seorang suami.
Bagi wanita :
 Sunah, bagi wanita yang mempunyai hasrat nikah, atau butuh lelaki yang bisa mengayomi dirinya.
 Makruh, bagi wanita yang tidak mempunyai hasrat nikah.
 Haram, bagi wanita yang tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri.
 Wajib, bagi wanita yang terancam kehormatannya dan hanya bisa diantisipasi dengan nikah.

Khithbah = Pacaran Islami ?
Komitmen menikah dari pasangan suami istri adalah komitmen hidup bersama, dalam suka dan duka. Sehingga, faktor kecocokan merupakan faktor penting antara keduanya. Islam menegaskan bahwa akad nikah bukanlah membeli kucing dalam karung. Calon suami berhak tahu bagaimana profil diri calon istrinya, fisik maupun kepribadiannya. Bahkan sebelum prosesi khithbah (lamaran) dilakukan.
Secara fisik, hak untuk tahu diakomodir syara' melalui dianjurkannya memandang fisik calon istri, pada anggota tubuh selain aurat dalam shalat, yakni boleh memandang sebatas wajah dan telapak tangan, tidak lebih dari itu. Tujuannya, agar calon suami tidak menyesal di kemudian hari. Saat Shahabat Mughirah hendak melamar seorang perempuan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
اُنْظُرْ إلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا (رواه الترمذي)
Pandanglah dia (calon istrimu) karena hal itu akan lebih melanggengkan kecintaanmu
Dari sisi kepribadian, calon suami berhak tahu profil diri calon istrinya melalui informasi orang-orang terdekatnya, orang tua, saudara, atau teman-temannya.
Catatan :
1. Melihat wajah dan telapak tangan calon istri diperbolehkan setelah :
 Calon istri benar-benar legal untuk dinikahi.
 Ada niatan untuk menikahinya
 Ada harapan secara kalkulatif lamarannya akan diterima.
2. Diperbolehkan memandang calon istri berkali-kali sebatas kebutuhan, hingga benar-benar jelas keberadaan fisik dari calon istrinya.

Bagaimana dengan pacaran Islami ?
Islam tidak melegalkan melihat anggota tubuh lawan jenis, kecuali dalam rangka hendak meng-khithbah. Islam tidak melegalkan sedikitpun bentuk-bentuk khalwah (berduaan) dengan lawan jenis, apalagi sampai ada kontak badan (persentuhan) dengan segala macam bentuknya. Lalu, bagaimana jika tahap penjajakan dan pengenalan satu sama lain ditempuh tanpa melalui hal-hal dilarang sebagaimana di atas, misalkan lewat sms, telepon, video call, chatting dan sejenisnya, senyampang teknologi komunikasi dan informasi mendukung hal itu? Mungkin, secara lahir kita bisa berdalih, bahwa melihat perempuan lewat cermin adalah boleh, suara perempuan bukan aurat, dan seterusnya. Namun, kita tidak bisa mengelak, bahwa ada sisi lain yang menyebabkan hal tersebut bermasalah. Melihat perempuan lewat cermin (kalau zaman sekarang melalui video call), secara dzatiyyah adalah legal, namun jika terdapat unsur syahwat, bisa membangkitkan birahi, atau berpotensi menimbulkan fitnah, maka tentunya hal ini akan berhukum haram. Dan, fakta tak terbantahkan, umumnya hal semacam itu akan mengantarkan pada ekses negatif. Karenanya, sebagai langkah antisipatif, kontak hubungan semacam di atas layaknya dihindari.

Pilah Pilih Calon Istri
Wanita shalihah yang ideal sebagai calon istri amat didamba oleh setiap lelaki. Ia adalah nikmat dunia tiada tara. Namun, mencari profil wanita semacam ini amatlah sulit. Dalam sebuah hadits diilustrasikan bagai gagak hitam bersayap putih, berkaki belang.
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ فِي النِّسَاءِ كَالْغُرَابِ الْأَعْصَمِ (الحديث)
Wanita shalihah di antara kaum perempuan, bagaikan burung gagak hitam bersayap putih. (al-hadits)
Namun, kriteria tak terbantahkan haruslah menjadi pegangan seorang muslim, yakni kriteria keabsahan seorang calon istri. Calon istri haruslah:
1. Islam atau Kafir Kitabi (Yahudi – Nasrani sesuai dengan persyaratan ketatnya) .
2. Tidak ada hubungan mahrom dengan calon suami.
3. Tidak dalam keadaan ihram.
4. Sudah tertentu (ta'yin), karenanya tidah sah menikah dengan salah satu dari dua perempuan tanpa terlebih dahulu ditentukan salah satu dari keduanya.
5. Jelas sifat kewanitaanya, maka tidak sah menikah dangan khuntsa musykil (orang yang belum jelas status pria atau wanitanya).
6. Tidak sedang dalam ikatan pernikahan atau menjalani iddah dari suami pertama.

Ada sejumlah preferensi lain yang juga sebaiknya menjadi pegangan seorang lelaki yang hendak mencari calon istri, di antaranya adalah :
 Masih perawan
 Wanita yang subur, punya potensi berketurunan banyak (al-walud)
 Memiliki nasab yang baik
 Wanita yang masih memiliki kekerabatan jauh lebih baik dari wanita yang tidak memiliki hubungan kekerabatan
 Kuat komitmen keagamaannya
 Memiliki aura kecantikan.
 Pintar.
Dari sekian banyak preferensi ini, kriteria keagamaan-lah yang harus menjadi prioritas pertama dan utama, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw.:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِحَسَبِِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك (الحديث)
Wanita dinikahi karena empat alasan, karena hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya, maka carilah wanita yang kuat agamanya, jika tidak, maka engkau akan merugi (al-hadits)

Antara konsep ijbar dan kawin paksa ala Siti Nurbaya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pernikahan tidak akan sah tanpa diakadi oleh seorang wali dari pihak mempelai wanita atau wakilnya. Beberapa persyaratan yang harus terpenuhi dalam diri seorang wali adalah; Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Wali nikah adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mempelai wanita. Secara hirarkis sesuai dengan skala prioritasnya, mereka adalah
1. Ayah
2. Kakek dari jalur dari ayah
3. Saudara laki-laki (sekandung, lalu seayah)
4. Anak dari saudara laki-laki (sekandung, lalu seayah)
5. Paman dari jalur ayah (saudara sekandung dari ayah, lalu saudara seayah)
6. Anak laki-laki dari paman jalur ayah (sekandung, lalu saudara seayah)
7. Ahli waris wala' (mantan majikan yang memerdekakan, lalu ahli waris ashabahnya).
8. Qadli.

Wali di peringkat (1) dan (2) memiliki hak khusus, yang disebut ijbar, yakni kewenangan "memaksa" mempelai wanita yang masih perawan, baligh atau masih anak-anak. Sedangkan jika mempelai wanita bukan perawan, maka wali hanya boleh menikahkan setelah ada izin secara lisan, jika dia sudah baligh. Kewenangan ijbar ini bukanlah kesewenangan, karena penetapan syara' semacam ini bukan tanpa dasar. Dasar pertama, tentu saja adalah nash syari'at yang berupa sebuah hadits :
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا (رواه الدارقطني)
Seorang janda lebih berhak menentukan perkawinannya daripada walinya, sedangkan wanita perawan harus dikawinkan oleh ayahnya. (HR. Daraquthni)
Dasar kedua, secara naluriah, seorang ayah, begitu pula kakek, akan selalu memiliki rasa sayang yang amat besar kepada putrinya. Sehingga karakter naluriah ini akan mencegahnya dari tindakan menyia-nyiakan putrinya. Artinya, seorang ayah pasti akan memilihkan hal terbaik, dengan menikahkan putrinya dengan seseorang yang dianggapnya baik untuk masa depan putrinya. Demi mengawal target ini, syara' tetap menggariskan standar baku yang harus dipegang oleh ayah atau kakek dalam menikahkan putrinya secara "paksa", agar akad nikahnya sah. Yaitu calon suami haruslah setingkat derajatnya (kafa'ah), mampu membayar maskawin standar (mahar mitsl), tidak ada permusuhan antara calon suami dan istri, serta tidak adanya permusuhan yang nampak antara wali dan putrinya. Meski demikian, syari'at menganjurkan agar ayah atau kakek meminta persetujuan terlebih dahulu kepada putrinya.

Prosesi sakral akad nikah
Ada empat komponen utama dalam akad nikah.
1. Mempelai pria atau wakilnya
2. Wali mempelai wanita atau wakilnya
3. Dua orang laki-laki saksi nikah
4. Shighat nikah, ijab dan qabul.
Dalam shighat nikah harus terpenuhi beberapa syarat sebagaimana berikut :
 Ijab (pemasrahan) dari wali calon mempelai wanita harus dengan ungkapan jelas (sharih) dan tidak boleh dengan ungkapan kinayah (kata-kata bersayap). Pelaksanaan ijab bisa dilakukan oleh walinya sendiri (ayah, kakek atau wali lainnya) atau diwakilkan pada orang lain. Jika dilakukan sendiri oleh orang tua calon mempelai wanita:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِياََءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ: أُوْصِيْكُمْ عِباَدَ اللهِ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ أُزَوِّجُكَ عَلَى ماَ أَمَرَ اللهُ بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٍ بِإِحْسَانٍ، وَأَحَلَّ الله ُ لَكُمُ النِّكاَحَ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمُ السِّفَاحَ. ياَ زَيْدُ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِى لَيْلَى بِمَهْرِ خَمْسِمِائَةِ أَلْفِ رُوْبِيَةٍ حَالاًّ / مُؤَجَّلاً.
Dan jika diwakilkan pada orang lain, maka ijabnya sebagaimana di bawah ini :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِياََءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ: أُوْصِيْكُمْ عِباَدَ اللهِ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ أُزَوِّجُكَ عَلَى ماَ أَمَرَ اللهُ بِهِ مِنْ إِمْسَاكٍ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٍ بِإِحْسَانٍ، وَأَحَلَّ الله ُ لَكُمُ النِّكاَحَ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمُ السِّفَاحَ. ياَ زَيْدٍ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ لَيْلَى بِنْتَ أَحْمَدَ مُوَكِّلِى بِمَهْرِ خَمْسِمِائَةِ أَلْفِ رُوْبِيَةٍ حَالاًّ / مُؤَجَّلاً.
 Adanya qabul (penerimaan) dari calon mempelai pria, baik dilakukan sendiri atau diwakilkan pada orang lain. Berikut contoh qabul yang dilakukan sendiri:
قَبِلْتُ نِكاَحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ .
Dan berikut ini contoh untuk penerimaan yang diwakilkan orang lain:
قَبِلْتُ نِكاَحَهاَ وَتَزْوِيْجَهَا لِعمر بِالْمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ
 Harus muttashil (bersambung) antara ijab dan qabul-nya. Maksud dari syarat ini adalah ketika wali mempelai wanita mengucapkan ijab, maka dengan tanpa diselingi sesuatupun calon mempelai pria harus segera mengucapkan qabul.
 Tidak boleh di-ta‘liq-kan (digantungkan) dengan hal lain.
 Tidak boleh dibatasi dengan waktu.
Catatan:
Shighat akad nikah boleh menggunakan terjemah dengan bahasa apapun, sekalipun mampu berbahasa Arab.

Teks-teks literatur salaf dalam pergulatan wacana

Poligami, antara wacana dan realita
Salah satu di antara isu yang gencar diproteskan kalangan orientalis dan juga kalangan Islam liberal adalah adalah kemapanan konsep poligami dalam Islam. Para ulama' tradisional (baca : salaf), memegangi konsep mapan kebolehan menikah bagi seorang laki-laki merdeka hingga empat orang istri. Landasan para ulama' ini tentunya adalah firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 3 :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (النساء : 3)
Maka menikahlah dengan perempuan yang engkau sukai, dua, tiga, atau empat. Maka jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil, maka hendaknya seorang istri saja, atau sahaya perempuan yang kalian miliki. (QS. An-Nisa' : 3)

Hikmah dilegalkannya poligami adalah demi kemaslahatan, dalam sekup personal maupun universal. Secara terperinci, beberapa hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Laki-laki tercipta secara dominan untuk berketurunan, meski mencapai usia 80 tahun. Sedangkan perempuan saat mencapai umur 50 tahun saja, pada umumnya telah mengalami masa menopouse, sehingga setelah usia tersebut akan mengalami kemandulan. Sementara ada tuntunan Rasul yang untuk memperbanyak umat Islam sebagai sebuah kebanggaan kelak di hari kiamat. Besarnya kuantitas umat juga akan memperkuat posisi dan daya tawar umat Islam di mata umat-umat yang lain. Dengan adanya konsep poligami, maka akan terwujudlah keinginan beliau itu.
2. Sebagai solusi legal dari hasrat seksual yang melampaui normal dalam sejumlah kasus lelaki. Dengan dilegalkannya poligami, akan mewadahi kepentingan itu, sehingga tidak akan menimbulkan kasus-kasus perselingkuhan dan perzinaan di kalangan masyarakat.
3. Saat zaman semakin akhir, maka perbandingan jumlah wanita akan semakin lebih banyak dibandingkan kaum pria sebagaimana diilustrasikan dalam sebuah hadits. Jika konsep poligami tidak ada, berapa banyak wanita yang hidup membujang tanpa pria sebagai suaminya. Nasib kaum hawa akan tersia-sia, hingga potensi perzinaan pun akan semakin terbuka lebar. Karena walau bagaimanapun, hasrat biologis merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia, pria maupun wanita. Belum lagi kebutuhan mereka secara ekonomi dan finansial, yang mana jika mereka bersuami, maka kebutuhan itu akan terpenuhi. Dan masih banyak hikmah-hikmah terpendam dari legalitas konsep poligami ini.
Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi dalam permasalahan ini adalah, bahwa kebolehan berpoligami tidaklah secara mutlak. Ada syarat-syarat dan batasan tertentu dalam melakukannya. Yang paling pokok adalah kemampuan secara finansial dan kemampuan untuk bersikap adil di antara para istrinya. Sebagaimana Surat An-Nisa' memungkasi ayat 3. Jika tidak mampu berbuat adil, maka satu istri adalah cukup.

Pernikahan dini dalam wacana syari'at
Baru-baru ini, kita dipaksa mencermati sebuah berita yang sebenarnya "tidak begitu heboh", pernikahan seorang tokoh dengan istri muda yang benar-benar masih belia, 12 tahun. Hingga ada gugatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), yang berakhir dengan dipisahkannya pasangan tersebut. Terlepas dari berita yang simpang siur dan tendensius, ada baiknya kita kaji dari sisi ilmiahnya.
Bolehkah menikahkan anak di bawah umur (baca : masih "anak-anak", belum dewasa) ? Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa telah terbentuk kesepakatan (ijma') kaum muslimin bahwa boleh menikahkan perempuan bocah yang masih perawan, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah menikahi Aisyah ra. saat masih berumur enam tahun. Meski demikian, kalangan Syafi'iyyah menyatakan bahwa ayah atau kakek disunnahkan untuk tidak menikahkan mereka saat masih belum dewasa.
Konsekwensi dari keabsahan nikah dini ini menyisakan sejumlah catatan. Di antaranya adalah bahwa saat seorang bocah perempuan dinikahkan, maka belum ada kewajiban bagi wali untuk menyerahkannya pada suami, karena secara fisik belum mampu untuk melakukan hubungan seksual. Kewajiban menyerahkan istri yang masih bocah kepada suaminya baru terjadi saat sang bocah sudah mampu secara fisik untuk melakukan hubungan seksual meski belum baligh.
Secara faktual, jika dirunut, keputusan memisahkan sang tokoh dengan istrinya yang masih berusia 12 tahun ada sisi "benar"nya. Karena pandangan umum memberikan kesimpulan bahwa usia 12 tahun bukanlah usia matang untuk berumah tangga. 'Ala kulli hal, sebagai santri pegangan kita adalah kacamata syari'at. Sehingga, semestinya dalam keabsahan nikah sang tokoh, tidak perlu dipermasalahkan. Tentang pemisahannya pun, jika semata berdasar usia yang belum matang, juga kurang tepat, karena usia 12 tahun (apalagi standar tahun masehi) adalah usia yang sangat memungkinkan seorang wanita telah mengalami baligh. Meski, barangkali, secara psikologis belum dikatakan "dewasa". Wallahu a'lam.

Epilog
Lembaga nikah adalah sebuah pranata mapan dari bebagai bangsa, dan telah ada sejak dahulu kala. Ia adalah wujud dari peradaban manusia. Dengan tata aturan nikah, manusia akan menemukan sisi kemanusiaannya, yang membedakannya dari hewan. Islam sebagai agama yang sempurna, dengan sisi-sisi detail tata aturannya tentang nikah, tak lain tujuannya hanyalah memelihara keluhuran derajat kemanusiaan manusia. Mungkin, secara ilmiah-fiqhiyyah, ada sisi-sisi "irasional", meski jika dirunut, akan ditemukan sisi-sisi hikmah dari tata aturan tersebut, ada sisi-sisi "kering" dan bingkai legal formalnya. Tetapi yang terpenting adalah, bahwa secara amaliah, nikah – dan juga tata aturan syari'at lainnya – mestinya diaplikasikan dengan menyertakan sisi etisnya. Shalat jangan hanya dipandang sisi syarat rukunnya, tetapi juga kualitas khusyu'nya. Begitu pula nikah, jangan sekedar batasan-batasan minimal hak dan kewajiban pasangan suami istri, akan tetapi juga kualitas hubungan yang harmonis di antara keduanya. Mu'asyarah bil ma'ruf, mestinya menjadi kiblat dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dan akhirnya, semoga pergulatan keilmuan kita di pondok tercinta ini akan membuahkan futuh dan barokah, semoga kelak kita menemukan pasangan ideal dalam membina rumah tangga, menuju ketaatan dan ridla-Nya. Amin. Wallahu a'lam bis shawab.


Kediri, 8 Januari 2009


Bibliografi
1. Zain al-Din bin Abd al-Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, Surabaya: al-Hidayah, tt.
2. Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, Surabaya, al-Hidayah, tt.
3. Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Surabaya: al-Hidayah, tt.
4. Sulaiman al-Bujairaami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khathib, Beirut : Dar al-Fikr, tt.
5. Syaikh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
6. Al-Syarwani, Hawasyai Al-Syarwani wa Ibn Qasim, Beirut : Dar al-Fikr, tt.
7. Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyrî' wa Falsafatuh, Surabaya: Al-Haramain, tt.
8. Syaikh Muhammad bin Salim bin Sa'id Babashil, Is'ad al-Rafiq, Surabaya: al-Hidayah, tt.
9. Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, Surabaya: al-Hidayah, tt.
10. Syaikh Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar