Fiqh

PINJAM MEMINJAM, BUKAN SEKEDAR KESEHARIAN

Dari sebuah hadis yang panjang, diriwayatkan dari Jabir radliyallâhu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda, “Tiadalah pemilik unta yang tidak menunaikan hak untanya, melainkan unta itu akan datang di hari kiamat sekadar masa penggembalaannya di lembah tanah rendah, pemilik unta itu terikat pada kaki-kaki unta dan telapak kakinya”. Seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak unta?” Rasul menjawab, “memerah susunya, meminjamkan timbanya, dan meminjamkan pejantannya” (HR. Muslim)

**********
Manusia adalah makhluk sosial. Keberadaannya dalam komunitas masyarakat senantiasa membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Salah satu bentuk bantu membantu dalam kehidupan keseharian adalah pinjam meminjam, mulai dari barang kebutuhan yang paling remeh, hingga barang-barang yang bernilai. Syariat Islam meneguhkan tradisi ini mulia ini, dengan sebuah anjuran sunnah, bahkan di masa-masa awal, anjuran ini berdimensi wajib. Keengganan memberikan pinjaman, oleh Al-Quran dirunutkan dalam rentetan sifat-sifat orang-orang yang celaka. Allah berfirman :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ § الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ § الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ § وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ § ﴿الماعون 4-7)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’ (pamer). Dan  enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un : 4-7)
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, al-mâ’ûn, adalah barang-barang pinjaman, lebih jauh Ibnu Mas’ud menafsirkan barang-barang pinjaman dengan kendil, timbangan dan timba, serta barang-barang kebutuhan keseharian. Meski demikian, mayoritas ulama’ mengarahkan hukum meminjamkan pada hukum sunnah, karena ia adalah bagian dari al-ihsân (perbuatan baik).
Pinjam meminjam, yang dalam bahasa Arab diistilahkan ‘âriyah, didefinisikan dengan perkenan dari ahli tabarru’ (seorang yang memiliki kewenangan berbuat baik) atas pemanfaatan barang yang halal dimanfaatkan, sementara materi barang tetap (tidak berkurang), untuk selanjutnya dikembalikan kembali pada pelaku kebaikan tersebut (mutabarri’). ‘Âriyah berbeda dengan ijârah (persewaan), selain karena dalam ijârah terdapat imbalan, juga karena ijârah adalah tamlîk al-manfa’ah (memindah-milikkan kemanfaatan), sedangkan ‘âriyah adalah ibâhah al-intifâ’ (perkenan atas pemanfaatan). Dengan memiliki kemanfaatan, seorang penyewa barang dapat menyewakan kembali barang yang disewanya, dapat pula meminjamkan barang yang disewanya kepada orang lain. Sedangkan peminjam hanya berhak menggunakan barang pinjaman sesuai penggunaan yang diperkenankan, tidak boleh meminjamkannya pada orang lain kecuali dengan seizin pemberi pinjaman. ‘Âriyah juga berbeda dengan qardlu (hutang piutang). Hal ini karena dalam ‘âriyah, barang pinjaman dikembalikan dalam wujud asalnya, tidak diganti dengan barang lain yang serupa. Sedangkan dalam qardlu, yang dikembalikan tidak harus sesuatu yang dihutangkan, bisa berupa materi lain yang serupa.
Selanjutnya, terlaksananya ‘ariyah yang legal secara syara’, tidak lepas dari empat unsur (‘arkân), dengan masing-masing ketentuannya. Yakni al-mu’îr (pemberi pinjaman), al-musta’îr (peminjam), al-musta’âr (obyek pinjaman) dan shighat (redaksi akad).

Al-mu’îr (pemberi pinjaman)
Ada dua syarat yang harus terpenuhi dalam diri pemberi pinjaman. Pertama, pemberi pinjaman haruslah seorang ahli tabarru’. Tabarru’ diartikan sebagai tindakan mukallaf (orang yang terbebani titah syari’at, yakni baligh dan berakal) dalam mengalokasikan harta atau kemanfaatannya pada orang lain, di masa sekarang atau akan datang tanpa disertai imbalan, dan umumnya bertujuan kebajikan.  Secara simpel, tabarru’ adalah tindakan pengalokasian atas harta atau kemanfaatannya tanpa disertai imbalan alias non komersil. Akad-akad yang termasuk dalam kategori tabarru’ adalah hibah, wakaf, wasiat, iqrâdl (menghutangi), dan termasuk juga i’ârah (meminjamkan). Beda halnya dengan akad-akad yang masuk dalam kategori mu’âwadlah, yakni akad yang beroientasi pada imbalan, seperti jual beli, akad salam, ijârah (persewaan dan jasa), dan akad-akad berorientasi komersil lainnya. Ahli tabarru’ berarti orang yang boleh dan sah melakukan tindakan tabarru’. Bisa disimpulkan bahwa ahli tabarru’ adalah orang yang baligh, berakal, dan terbebas dari pembatasan (hajr). Sehingga, anak kecil, orang gila, orang yang idiot (safîh), orang yang pailit (muflis, atau jatuh bangkrut) tidak sah meminjamkan barangnya, kecuali peminjaman barang-barang yang umumnya tidak diimbali dengan upah.
Kedua, pemberi pemberi pinjaman adalah pemilik kemanfaatan dari barang yang dipinjamkan. Hal ini mencakup pemilik barang, atau penyewa barang, bukan peminjam barang. Sehingga, orang yang menyewa suatu barang, boleh meminjamkannya pada orang lain. Beda halnya dengan peminjam barang, dia tidak diperbolehkan meminjamkan barang yang dipinjamnya tersebut kepada orang ketiga, kecuali ada izin dari pemberi pinjaman. Hal ini karena peminjam barang, bukanlah pemilik kemanfaatan, akan tetapi sebatas mendapat izin untuk memanfaatkan. Hanya saja, peminjam masih diperkenankan memanfaatkan barang pinjaman lewat wakilnya hanya dalam rangka kepentingan peminjam saja.
Al-musta’îr (peminjam)
Peminjam, disyaratkan haruslah shahih al-ibârah (orang yang ucapannya berkonsekwensi hukum). Sehingga anak kecil, orang gila atau binatang tidak sah sebagai peminjam atau yang dipinjami. Dalam redaksi lain, syarat ini dinyatakan dengan ungkapan lain, yakni bahwa peminjam, atau orang yang dipinjami, haruslah orang yang layak di-tabarru’i melalui sebuah akad. Sehingga, anak kecil atau orang gila, bisa menerima pinjaman dengan diwakili oleh wali atau pengasuhnya, dengan tetap berpegang pada prinsip kemaslahatan.

Al-musta’âr (obyek pinjaman)
Obyek pinjaman, harus berupa sesuatu yang berpotensi kemanfaatan dan mubah dengan tetapnya materi barang. Sehingga tidak sah meminjamkan barang yang tidak memiliki manfaat, seperti meminjamkan keledai yang lumpuh, atau memiliki kemanfaatan yang ilegal secara syara’, seperti meminjamkan alat musik, atau sesuatu yang kemanfaatannya dengan cara dihabiskan, seperti meminjamkan makanan untuk dimakan.

Sighat (redaksi akad)
Sebagaimana akad-akad yang lain, dalam ‘âriyah juga dibutuhkan adanya sighat, demi kepastian kerelaan. Karena kerelaan sumbernya dalam hati, maka sebagai indikatornya adalah kata-kata, atau bisa juga tulisan. Ketentuan adanya shighat ini cukup dengan pernyataan dari salah satu pihak yang menunjukkan pada izin, dan respon berupa tindakan dari pihak yang lain. Semisal, pemberi pinjaman mengatakan, “Ku pinjamkan padamu barang ini”, lalu peminjam mengambilnya. Atau pernyataan permohonan izin dari salah satu pihak, dan respon pengabulan berupa tindakan dari pihak yang lain. Seperti peminjam berkata, “Pinjamilah aku barang itu”, lalu pemberi pinjaman memberikannya. Jarak antara ucapan dengan respon tindakan ini tidak disyaratkan harus bersambung, sebagaiman îjâb qabûl dalam jual beli. Khilafiyah mu’âthâh juga berlaku dalam akad ‘âriyah ini.

Ketentuan hukum dalam ‘âriyah
Ada sejumlah ketentuan hukum dalam ‘âriyah. Sebagaimana dalam Asna al-Mathâlib, setidaknya ada tiga poin. Pertama, bahwa ‘âriyah berkonsekwensi hukum dlamân (ganti rugi), yakni bahwa peminjam wajib mengganti rugi atas kerusakan barang pinjaman. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
الْعَارِيَةُ مَضْمُوْنَةٌ (رواه أبو داود وغيره)
Pinjaman itu menyebabkan ganti rugi (HR. Abu Dawud dan yang lain)
Secara umum, sifat penguasaan (yad, secara tekstual berarti tangan) seseorang terhadap harta atau barang orang lain, terbagi dalam  dua kategori. Yakni yad al-amânah dan yad al-dlamân. Yad al-amânah berarti penguasaan seseorang terhadap harta atau barang orang lain yang tidak berkonsekwensi hukum ganti rugi ketika terjadi kehilangan atau kerusakan, kecuali jika ada unsur keteledoran. Yang termasuk dalam kategori ini adalah wadî’ah, wakâlah, syirkah dan mudlârabah. Sedangkan yad al-dlamân adalah penguasaan seseorang terhadap harta atau barang orang lain yang berkonsekwensi hukum ganti rugi ketika terjadi kehilangan atau kerusakan, baik hal tersebut muncul karena adanya keteledoran ataupun tidak. Yang termasuk dalam kategori ini adalah ghashab, penguasaan calon pembeli atas barang yang dijual dalam rangka menawar harga, penguasaan atas barang yang dijual melalui akad yang batal, dan juga termasuk akad ‘âriyah ini.
Selanjutnya, peminjam berkewajiban mengganti rugi barang pinjaman jika terjadi kerusakan alamiah (semisal, kuda pinjaman mati), atau perusakan oleh peminjam ataupun orang lain, meski tanpa ada unsur keteledoran (semisal, secara tidak sengaja peminjam atau orang lain menembak kuda pinjaman hingga mati), atau kerusakan barang pinjaman yang muncul bukan karena penggunaan yang diperkenankan oleh pemberi pinjaman, semisal kendaraan yang dipinjamkan untuk dikendarai satu orang saja, lantas mengalami kerusakan akibat dikendarai lebih dari seorang. Sedangkan contoh kasus yang tidak mengharuskan ganti rugi adalah peminjaman baju untuk dikenakan, lantas usang akibat pemakaian yang wajar. Selanjutnya, bentuk ganti rugi dari barang pinjaman yang rusak bukan karena pemakaian yang diperkenankan, adalah dengan qîmah, yakni mata uang senilai barang pinjaman tersebut dengan standar taksiran saat terjadi kerusakan.
Kedua, bentuk penggunaan barang pinjaman. Jika barang pinjaman memiliki hanya satu bentuk penggunaan, semisal pulpen untuk menulis, maka akad pinjaman bisa dilakukan secara mutlak, tanpa menyebutkan bentuk penggunaan. Akan tetapi jika barang pinjaman memiliki sejumlah bentuk penggunaan, seperti dalam peminjaman tanah, untuk keperluan bercocok tanam, atau ditanami pepohonan, atau dibangun sebuah bangunan atau keperluan lain dengan resiko kerusakan tanah yang beragam, maka akad pinjaman tidak boleh dilakukan secara mutlak, akan tetapi harus menyebutkan bentuk penggunaan yang diperkenankan oleh pemberi pinjaman, atau dengan memperkenankan secara jelas segala bentuk penggunaan. Peminjam harus memperhatikan izin penggunaan barang pinjaman ini sesuai yang dikehendaki pemberi pinjaman, serta dengan tetap mempertimbangkan tradisi yang berlaku di daerah setempat.
Ketiga, bahwa sifat akad dalam ‘âriyah adalah jâiz, maksudnya adalah tidak mengikat, kapanpun dari kedua belah pihak bisa mengakhiri akad, yakni dengan cara pemberi pinjaman menarik barang pinjamannya, dan peminjam mengembalikan barang pinjaman, meski dalam akad disebutkan pembatasan waktu yang belum saatnya tiba. Ada sejumlah pengecualian dari prinsip ini, memandang kondisi peminjaman secara kasuistik. Diantaranya adalah peminjaman pakaian untuk shalat, maka pemberi pinjaman tidak diperbolehkan menarik barang pinjamannya saat peminjam telah melakukan takbiratul ihram. Atau sebaliknya, peminjam tidak diperbolehkan mengembalikan rumah pinjaman untuk didiami mantan istrinya yang sedang menjalani ‘iddah di rumah tersebut.
Termasuk dari konsekwensi ‘âriyah adalah akad jâiz, sebagaimana akad-akad jâiz lainnya, adalah bahwa tatkala salah satu pihak atau keduanya meninggal dunia, atau mengalami kelainan jiwa, maka akad ‘âriyah menjadi infisâkh (terbatalkan). Dan peminjam – jika masih hidup – atau ahli warisnya berkewajiban segera mengembalikan barang pinjaman tersebut.  Biaya pengembalian sepenuhnya menjadi beban tanggung jawab dari pihak peminjam. Wallâhu a’lam.

Referensi 
  1. Ibrâhîm al-Bâjûrî, Hâsyiyah al-Bâjûrî ‘ala Ibn Qâsim al-Ghazî, Surabaya : Al-Hidayah, tt. 
  2. Zakariyyâ bin Muhammad bin Zakariyyâ al-Anshârî, Asnâ al-Mathâlib Syarh Raudl al-Thâlib, Beirut : Darul Kutub al-Islamiy, tt. 
  3. Sulaimân bin Manshûr al-‘Ujailî, Hâsyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, Beirut : Darul Fikr, tt. 
  4. Badruddin bin Muhammad Bahâdir al-Zarkasyî, Al-Mantsûr fî al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Kuwait : Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. 
  5. Wizârat al-Awqâf wa al-Syu'ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt.