Wawasan


LINGKARAN SETAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

"Sungguh, karena kemuliaannya, amatlah layak bagi guru dianugerahkan seribu dirham untuk tiap huruf yang diajarkannya,
Demikian sebuah syair Arab berujar. Kita lantas teringat, fenomena akhir-akhir ini, sejumlah pihak mempersoalkan biaya pendidikan yang mahal, kemudian pemerintah dipersalahkan karena kurang tanggap, atau bahkan tidak becus mengupayakan pendidikan murah. Adakah sebenarnya pendidikan murah itu? Jawabannya: tidak ada! Hanya orang yang memandang rendah arti pendidikan-lah yang menganggapnya sebagai barang murahan. Seorang konglomerat yang hampir tenggelam di lautan mungkin akan berani membeli sebuah ban bekas seharga semilyar atau bahkan sebanyak harta yang dimilikinya demi menyelamatkan nyawanya. Hanya konglomerat kikir saja-lah yang masih mempertimbangkan kondisi butut ban bekas itu yang harus ditukar dengan harga selangit. Pendidikan merupakan investasi besar jangka panjang mempersiapkan manusia sebagai makhluk berperadaban dengan muatan nilai dan keahlian.  
Hanya, akankah kita rela sekolah-sekolah dan pihak-pihak terkait dengan rakus meraup berdirham-dirham kekayaan, sementara mereka acuh terhadap kualitas output peserta didiknya? Tingginya biaya pendidikan, sebenarnya tak lain dikarenakan lingkaran setan pola pikir komersial dari penyedia jasa pendidikan, sekolah misalnya, maupun pengguna jasa pendidikan, murid atau orangtua murid. Pendidikan seakan menjadi sebuah komoditi yang diperjualbelikan pihak sekolah dengan harga yang relatif tinggi, sementara murid atau orangtua murid tentunya berpikir, bagaimana dengan biaya pendidikan sekecil-kecilnya bisa meraup keuntungan dari legalitas kelulusan sebesar-besarnya, misalnya mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi.
Ilmu pengetahuan seharusnya berfungsi sosial. Tentunya, penyedia jasa pendidikan harus melakukan aktivitasnya sebagai salah satu bentuk pengabdian terhadap ilmu pengetahuan. Orangtua siswa tentunya berharap, selain putra-putranya berpengetahuan luas dan berperilaku santun, juga mau dan mampu melaksanakan fungsinya kelak di masyarakat sebagai agen penggerak perubahan sosial. Orientasi tak lebih sekedar duniawi, hanyalah akan makin mempertinggi biaya pendidikan.  
Sembari memikirkan bagaimana cara keluar dari problem mahalnya biaya pendidikan, upaya perbaikan mutu pendidikan yang mencakup sisi akademis maupun idealis dari output sistem pendidikan hendaknya lebih mendapatkan perhatian. Buat apa mengucurkan dana negara hanya untuk membiayai orang-orang egois yang menempuh studi hanya untuk memperkaya diri sendiri? Atau, buat apa menyekolahkan orang hingga pintar jika ternyata setelah tamat belajar justru minteri orang lain? Dari dua agenda pokok ini, peningkatan mutu pendidikan-lah yang seharusnya dikedepankan. Karena pendidikan di Indonesia saat ini mengalami masa-masa suram. Kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tingginya angka ketidaklulusan, cukup menjadi bukti suramnya pendidikan kita. Adapun problem mahalnya biaya pendidikan, adalah suatu hal yang lumrah sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, bukan barang murahan, meski upaya penanganan dan pencarian solusi tetap harus diupayakan. Semoga tahun-tahun krisis ini bukan menjadi masa akhir dari riwayat hidup pendidikan di Indonesia.